“Kami
mendaku kalau tikus memiliki versi otak terbatas dan sifat perilaku
untuk belajar bersuara yang ditemukan pada manusia untuk belajar
berbicara dan pada burung untuk belajar bernyanyi,” kata neurobiologiwan
Duke Erich Jarvis. Hasilnya muncul dalam jurnal Plos One tanggal 10
Oktober 2012 dan dijelaskan lebih jauh dalam artikel tinjauan di Brain
and Language.
Penemuan ini
menyanggah asumsi para ilmuan selama 60 tahun kalau tikus tidak mampu
belajar bersuara sama sekali. “Jika kami tidak salah, temuan ini akan
menjadi dorongan besar bagi ilmuan untuk mempelajari penyakit seperti
autisme dan gangguan rasa takut,” kata Jarvis, yang juga seorang
penyelidik dari Howard Hughes Medical Institute. “Para peneliti yang
memakai model tikus untuk pengaruh komunikasi suara dari penyakit ini
akhirnya akan mengetahui sistem otak yang mengendalikan vokalisasi
tikus.”
Jarvis mengakui kalau
temuannya kontroversial karena bertentangan dengan asumsi lama ilmuan
tentang vokalisasi tikus. Penelitiannya menunjukkan jalur komunikasi
suara di otak tikus sama dengan otak manusia daripada rangkaian pembuat
suara di otak simpanse dan primata non manusia lainnya. Hasil ini juga
bertentangan dengan dua studi terbaru lainnya yang menunjukkan kalau
tikus tidak menyesuaikan nada atau memiliki perubahan vokalisasi akibat
ketulian.
“Ini adalah studi yang
sangat penting dengan temuan yang besar,” kata Kurt Hammerschmidt,
seorang pakar komunikasi suara di Pusat Primata Jerman yang tidak
terlibat dalam studi ini. Ia mengingatkan tentang beberapa dakuan namun
menyarankan kalau jika tikus dapat belajar vokalisasi maka mereka dapat
menjadi model yang bagus untuk landasan genetika evolusi bahasa.
Jarvis, bekas mahasiswa pascanya Gustavo
Arriaga, dan seorang kolega dari Universitas Tulane menguji sifat
belajar bersuara tikus jantan sebagai bagian dari proyek yang lebih
besar untuk mempelajari evolusi suara manusia. Belajar bersuara
tampaknya unik pada manusia, burung penyanyi, kakaktua, dan burung
kolibri dan para ilmuan mendefinisikannya dengan lima tampilan terkait
struktur otak dan perilaku. Karena para ilmuan tidak pernah menemukan
tampilan ini pada hewan lain, “Saya hampir menduga kalau setiap
eksperimen pada tikus akan gagal,” kata Arriaga.
Dalam studi ini, didanai oleh HHMI, NSF,
dan NIH, Arriaga pertama memakai penanda ekspresi gen, yang menyalakan
sel syaraf di korteks motorik otak tikus saat ia menyanyi. Arriaga
kemudian merusak sel syaraf spesifik lagu di korteks motor dan mengamati
kalau tikus tidak dapat lagi menjaga lagunya sesuai nada atau
mengulanginya dengan konsisten, yang juga terjadi ketika tikus tersebut
menjadi tuli.
Arriaga juga memakai
pelacak suntik, yang memetakan sinyal yang mengendalikan lagu saat ia
bergerak dari sel syaraf di korteks motor ke batang otak dan kemudian ke
otot di laring. “Proyeksi langsung dari otak depan tikus ke batang otak
dan otot adalah kejutan besar,” kata Jarvis.
“Bukti proyeksi langsung dari daerah korteks motor adalah
temuan besar,” kata Hammerschmidt. “Dan saya rasa penting mencoba
memahami apakah proyeksi ini memang mampu bekerja dengan cara yang sama
seperti proyeksi pada burung dan manusia.” Pertanyaannya adalah apakah
tikus dapat belajar vokalisasi dengan cara yang sama seperti pada
spesies lain. Para peneliti menemukan kalau ketika dua tikus jantan
diletakkan di kandang yang sama dengan seekor betina, nada jantan mulai
memusat setelah tujuh hingga delapan minggu. Arriaga dan Jarvis menguji
24 tikus jantan dan melakukan eksperimen dua kali untuk mengkonfirmasi
hasilnya.
Hammerschmidt skeptis.
“Cerita konvergensi nada Jarvis dan Arriaga kurang meyakinkan,” katanya.
Para ilmuan telah mengamati konvergensi nada pada pebelajar non vokal
dan sejumlah hewan uji dalam studi ini terlalu rendah untuk menentukan
apakah efek yang ditemukan memang handal, katanya.
Jarvis tidak setuju, namun menambahkan
kalau penelitian lanjutan harus dilakukan untuk mengetahui apakah tikus
dapat belajar tampilan lain vokalisasi atau apakah belajar mereka
terbatasi hanya pada nada.
“Hasil
kami menunjukkan kalau tikus memiliki lima tampilan yang diasosiasikan
ilmuan dengan belajar vokal. Pada tikus, ia tidak hadir dalam bentuk
lanjut seperti ditemukan pada manusia atau burung penyanyi, namun ia
juga tidak sepenuhnya tiada seperti diasumsikan sebelumnya,” katanya.
Timnya sekarang mencari otak tikus untuk rangkaian otak sepesifik gen
untuk perilaku vokal. Sejauh ini, gen-gen ini hanya ditemukan pada
burung penyanyi dan manusia namun, berdasarkan hasil ini, dapat juga ada
pada tikus, kata Jarvis.
Lagu tikus
dimasukkan dalam artikel PloS. Lihat kutipan di bawah.
Sumber berita:
Referensi
jurnal:
1. Arriaga, G. et
al. Of mice, birds, and men: the mouse ultrasonic song system
has some features similar to humans and song-learning birds. PLOS
ONE, 2012 DOI: 10.1371/journal.pone.0046610
2. Arriaga, G. et. al. Mouse
vocal communication system: are ultrasounds learned or innate? Brain
and Language, 2012
0 komentar:
Posting Komentar