Rupper
mengatakan peningkatan suhu hanya satu hal dibalik melorotnya glasier.
Sejumlah faktor iklim seperti angin, kelembaban, presipitasi, dan
penguapan dapat mempengaruhi bagaimana glasier berperilaku. Dengan
beberapa glasier Bhutan sepanjang 13 mil, ketidakseimbangan daerah ini
dapat membuatnya perlu berdekade untuk merespon sepenuhnya.
“Glasier
semacam ini telah melihat banyak pemanasan dalam beberapa dekade
terakhir yang mereka sedang berusaha kejar sekarang,” jelas Rupper.
Faktanya, laju hujan salju di Bhutan akan
berlipat dua untuk menghindari berkurangnya glasier, namun itu skenario
yang kecil kemungkinannya karena suhu yang menghangat menyebabkan hujan
air bukannya hujan salju. Jika glasier terus kehilangan lebih banyak air
dari yang dapat mereka peroleh, kombinasi lebih banyak hujan dan lebih
banyak glasier yang meleleh akan meningkatkan kemungkinan banjir – yang
dapat merusak desa-desa di sekitarnya.
“Banyak populasi di dunia ini berada di kaki Himalaya,” kata
Rupper. “Banyak kebudayaan dan sejarah akan hilang, bukan hanya bagi
Bhutan namun juga Negara tetangganya yang menghadapi resiko ini.”
Untuk menggambarkan kemungkinan kejadian
ini, Rupper melakukan penelitiannya satu langkah lebih jauh. Hasilnya
menunjukkan jika suhu naik hanya 1 derajat Celsius, glasier Bhutan akan
mengerut hingga 25 persen dan air yang meleleh setiap tahun akan turun
hingga 65 persen. Dengan iklim yang terus menghangat, prediksi demikian
bukan lagi hal yang mustahil, khususnya perlu bertahun-tahun bagi
glasier untuk bereaksi pada perubahan.
Untuk membuat prediksi yang lebih eksak untuk Bhutan, Rupper
dan mahasiswa pasca sarjana BYU Landon Burgener dan Josh Maurer
bekerjasama dengan para peneliti dari Columbia University,
Lamont-Doherty Earth Observatory, NASA, dan Departemen Layanan
Hidro-Meteorologi Bhutan. Bersama, mereka menjelajahi hutan hujan dan
lereng kering untuk menjangkau sebagian balok es paling terpencil di
dunia. Disana mereka meletakkan stasiun cuaca dan peralatan pengawas
glasier yang dapat dipakai untuk mengumpulkan data real-time dalam
berbulan dan bertahun-tahun ke depan.
“Perlu
tujuh hari hanya untuk mencapai glasier target,” ingat Rupper, yang
pulang bulan Oktober. “Bagi tim hewan, pengendara kuda, dan pemandu,
wilayah dan ketinggian tersebut adalah jalan hidup, namun aku akui kalau
orang barat di kelompok ini sedikit bergerak lambat.”
Laporan dan penelitian lapangan Rupper
adalah salah satu yang pertama memeriksa glasier di Bhutan, dan
pemerintah berharap memakai penelitiannya untuk membuat keputusan jangka
panjang mengenai sumberdaya air dan ancaman banjir di Negara ini.
“Mereka dapat secara potensial menemukan
gagasan yang lebih baik mengenai dimana harus membentengi rumah atau
membangun pembangkit listrik baru,” kata Rupper. “Diharapkan, sains yang
baik dapat membawa pada solusi rekayasa yang baik untuk perubahan yang
mungkin akan kita saksikan dalam dekade-dekade ke depan.”
Sumber berita:
Referensi
jurnal:
Summer Rupper, Joerg M.
Schaefer, Landon K. Burgener, Lora S. Koenig, Karma Tsering, Edward R.
Cook. Sensitivity and response of Bhutanese glaciers to
atmospheric warming. Geophysical Research Letters,
2012; 39 (19) DOI: 10.1029/2012GL053010
0 komentar:
Posting Komentar