Bintang-bintang Purba Mengungkap Prasejarah Bima Sakti

Alasan mengapa beberapa dari bintang-bintang tua itu menjadi abnormal dilimpahi elemen berat, dengan demikian, karena ledakan supernova yang mengirimkan jet ke luar angkasa.

Beberapa ‘fosil bintang’ Bima Sakti – bintang-bintang tertua dalam galaksi kita – mengandung sejumlah besar elemen berat seperti emas, platina dan uranium. Dari mana asalnya telah menjadi misteri bagi para peneliti sejak elemen-elemen ini biasanya terlihat pula pada generasi bintang-bintang selanjutnya. Para peneliti di Niels Bohr Institute telah mempelajari bintang-bintang purba ini selama beberapa tahun dengan teleskop raksasa ESO di Chili dalam rangka melacak asal-usul elemen-elemen berat itu, dan dengan pengamatan terakhir mereka telah menyimpulkan bagaimana elemen-elemen itu bisa terbentuk dalam sejarah awal Bima Sakti.

Hasilnya dipublikasikan dalam Astrophysical Journal Letters.
Tak lama setelah Big Bang, alam semesta didominasi oleh materi gelap misterius bersama dengan hidrogen dan helium. Sebagaimana materi gelap dan gas-gas ini mengelompok oleh gravitasinya sendiri, mereka membentuk bintang-bintang pertama.
Pada bagian dalam bintang yang terik ini, hidrogen dan helium mencair bersama-sama dan membentuk elemen-elemen pertama yang lebih berat seperti karbon, nitrogen dan oksigen, dan setelah beberapa saat yang ‘singkat’ (beberapa ratus juta tahun) semua unsur berada di tempatnya. Namun, bintang-bintang awal ini hanya berisi seperseribu dari elemen-berat yang terdapat di Matahari saat ini.
Setiap kali sebuah bintang masif terbakar dan mati dalam ledakan keras yang dikenal sebagai supernova, ia melepaskan awan gas dan membentuk elemen-elemen baru ke luar angkasa, di mana awan gas kontrak lagi dan akhirnya runtuh serta membentuk bintang baru. Dengan cara ini, generasi baru bintang menjadi lebih kaya dan lebih kaya lagi dalam elemen-elemen berat.

Bima Sakti sama seperti NGC 4594 (pada gambar), cakram galaksi berbentuk spiral dengan sekitar 200 milyar bintang. Di atas dan di bawah bidang galaksi terdapat halo, yang mencakup bintang tua yang telah ada sejak masa kanak-kanak galaksi miliaran tahun lalu. Pada prinsipnya mereka semua semestinya primitif dan sedikit mengandung elemen berat seperti emas, platina dan uranium. Penelitian baru menunjukkan bahwa penjelasannya terletak pada jet keras dari ledakan bintang raksasa. (Kredit: Hubble Telescope)
Fosil dari masa kecil galaksi
Karena itu, sungguh mengejutkan dengan ditemukannya bintang-bintang dari alam semesta awal yang relatif kaya akan elemen-elemen yang sangat berat. Tapi mereka ada dan bahkan tepat berada di dalam galaksi kita, Bima Sakti.
“Di bagian-bagian sebelah luar Bima Sakti terdapat ‘fosil bintang’ tua dari masa kanak-kanak galaksi kita. Bintang-bintang tua ini terletak pada halo atas dan bawah pipihan cakram galaksi. Dalam sebuah perkiraan persentase yang kecil, sekitar 1-2 persen dari bintang-bintang primitif, Anda menemukan jumlah abnormal unsur-unsur terberat yang relatif terhadap elemen berat ‘normal’ besi dan lainnya,” jelas Terese Hansen, seorang astrofisikawan dalam kelompok penelitian Astrophysics and Planetary Science di Niels Bohr Institute, University of Copenhagen.
Kelompok riset di Niels Bohr Institute telah mempelajari bintang-bintang purba ini dengan teleskop raksasa ESO di Chili selama beberapa tahun. Untuk memperoleh pegangan tentang asal-usul elemen-elemen beratnya, mereka mengikutsertakan 17 bintang ‘normal’ selama empat tahun dengan Nordic Optical Telescope di La Palma.
Terese Hansen menggunakan tesis master-nya untuk menganalisis hasil pengamatan. “Setelah bekerja keras pada pengamatan-pengamatan yang sangat sulit ini selama beberapa tahun, saya tiba-tiba menyadari bahwa tiga dari bintang-bintang itu memiliki gerakan orbital jelas yang dapat kita definisikan, sedangkan yang lainnya tidak bergeming dari tempatnya dan ini adalah petunjuk penting untuk menjelaskan jenis mekanisme apa yang telah menciptakan elemen-elemen dalam bintang-bintang tersebut,” jelas Terese Hansen, yang menghitung velositasnya bersama para peneliti dari Niels Bohr Institute dan Michigan State University, Amerika Serikat.
Emas melapisi awan gas
Dia menjelaskan bahwa ada dua teori yang dapat menjelaskan overdosis unsur-unsur berat pada bintang-bintang awal ini. Satu teori menyebutkan bahwa bintang-bintang ini semuanya berada di dekat sistem bintang biner, di mana salah satu bintangnya telah meledak sebagai supernova dan telah melapisi bintang pendampingnya dengan lapisan tipis yang baru saja dibuat, yaitu platina, uranium, emas dan sebagainya.
Teori lainnya adalah bahwa supernova awal (ledakan bintang raksasa) bisa menembakkan elemen-elemen berat dalam bentuk jet ke arah yang berbeda-beda, sehingga elemen-elemen ini akan dibangun menjadi beberapa awan gas berdifusi yang membentuk beberapa bintang yang bisa kita lihat saat ini pada halo galaksi.
“Pengamatan saya terhadap gerakan bintang-bintang itu menunjukkan bahwa sebagian besar dari 17 bintang yang kaya elemen-elemen berat itu sebenarnya tunggal. Hanya tiga (20 persen) yang berada pada sistem bintang biner – ini benar-benar normal, 20 persen dari semua bintang berada di sistem bintang biner Jadi teori tentang bintang tetangga berlapis emas tidak bisa menjadi penjelasan umum. Alasan mengapa beberapa dari bintang-bintang tua itu menjadi abnormal dilimpahi elemen berat, dengan demikian, karena ledakan supernova yang mengirimkan jet ke luar angkasa. Dalam ledakan supernova, unsur-unsur berat seperti emas, platina dan uranium terbentuk dan ketika jet menabrak awan gas di sekitarnya, mereka akan dilimpahi dengan unsur-unsur tersebut dan membentuk bintang yang sangat kaya elemen berat,” kata Terese Hansen, yang memperoleh pendanaan PhD oleh salah satu kelompok riset astrofisika terkemuka Eropa di University of Heidelberg.
Kredit: University of Copenhagen
Jurnal: Terese Hansen, Johannes Andersen, Birgitta Nordström, Lars A. Buchhave, Timothy C. Beers. The Binary Frequency Of r-Process-Element-Enhanced Metal-Poor Stars and Its Implications: Chemical Tagging in the Primitive Halo of the Milky Way. The Astrophysical Journal, 2011; 743 (1): L1 DOI: 10.1088/2041-8205/743/1/L1

0 komentar: