Baru-baru ini ketika saya mengunjungi sebuah toko buku, di
jajaran rak buku terdapat sebuah buku yang mengupas tentang kekal dan
tidaknya alam akhirat dalam tinjauan sains, dalam hal ini fisika, yang
penulisnya merupakan lulusan pendidikan fisika UIN. Setelah membaca
dengan seksama bagian-bagian yang dianggap perlu, ternyata dasar
penjelasannya hanya berlandaskan teori relativitas khususnya Einstein,
yakni mengenai pemuluran waktu yang dirasakan bagi pengamat yang
bergerak relatif terhadap suatu kejadian. Dan ternyata teori ini juga
belum cukup mampu membuktikan kekekalan atau ketidakkekalan akhirat itu,
seperti yang ditulis di bukunya. Semua penjelasan yang dipakai
kebanyakan bersifat asumsi sehingga kesimpulan yang dihasilkan dirasakan
masih mengandung banyak pertanyaan ketimbang suatu penjelasan, atau
bersifat heuristik. Oleh karena itu saya akan kemukakan bagaimana
sebaiknya sains fisika menyikapi hal ihwal keberadaan alam ghaib ini.
Dalam dunia real kita,
keberadaan sesuatu (benda, manusia maupun makhluk hidup lainnya) dapat
diketahui jika memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya:
a.
Sesuatu itu dapat memantulkan atau memancarkan cahaya (gelombang
elektromagnetik) ke alat penerima (seperti mata). Peristiwa tersebut
nantinya akan tergambar dan tampak nyata bagi si penerima. Dengan kata
lain ia dapat dirasakan oleh panca indera.
b. Keberadannya dapat diketahui dengan adanya akibat tak
langsung dari keberadaannya yang akibatnya itu dapat dirasakan oleh
pengamat yang berada di lingkungan tersebut. Misalnya, jika ia berada
dalam tanah, kita dapat mendeteksi keberadaannya dengan mengirimkan
sinyal gelombang dan akhirnya gelombang itu akan terpantul dari benda
itu ke alat pendeteksi dan alat pendeteksi menerjemahkan informasi
mengenai benda itu.
Hal
itu semua mengindikasikan bahwa ‘sesuatu’ itu berinteraksi dengan kita
baik secara langsung maupun tak langsung. Sehingga apabila kia ingin
mengetahui alam lain selain alam yang kita huni, kita harus mencari
informasi tentang keberadaannya melalui interaksinya dengan alam kita.
Karena dengan mengandalkan informasi dari cahaya tampak untuk mengamati
keberadaan alam lain tidaklah memungkinkan. Hal ini disebabkan boleh
jadi ‘mereka’ berada (dapat terlihat dalam wujudnya) dalam daerah
spektrum gelombang elektromagnetik lain. Contohnya bila kita ingin
melihat atom, panjang gelombang yang harus digunakan harus berukuran
kurang dari panjang gelombang atom tersebut, sebagaimana yang diketahui
bahwa setiap partikel materi dapat dicirikan melalui sifat gelombangnya
(prinsip dualisme gelombang-partikel).
Bagaimana
bisa terjadi interaksi antara suatu benda dengan benda lainnya ?
Interaksi
suatu benda dengan benda lain bisa terjadi karena adanya gaya-gaya yang
bekerja, dan gaya-gaya ini memenuhi hukum-hukum alam dasar. Jadi
permasalahannya adalah apakah hukum fisika di alam ghaib sama dengan di
alam real kita ? Menurut sains, hukum-hukum fisika di alam ghaib tidak
perlu sama dengan hukum alam kita. Karena jika tidak demikian, tidak ada
perbedaan antara alam ghaib dan alam real sehingga definisi alam ghaib
sudah tidak ada lagi.
Hukum-hukum
Allah untuk semua alam (jin, manusia, malaikat) adalah sama pada
dasarnya. Mengambl istilah yang dikenal sekarang adalah Theory of
Everything (TOE) yaitu teori yang mendasari semua gejala dan tingkah
laku gerak semua benda yang ada di semua alam. Karena ‘segala sesuatu’
itu lebih luas dari alam semesta yang kita ketahui maka perincian
hukum-hukumnya itu menurut keadaan makhluk yang tinggal di alam
tersebut. Hukum-hukum tersebut memungkinkan penghuninya merasakan
keadaan yang nyaman dan tidak asing. Karena segala sesuatu itu sudah
ditetapkan ukurannya masing-masing oleh Allah. Manusia dengan segala
kemampuan dan waktunya tidak akan mampu menandingi Allah. Hal ini sesuai
dengan sifatNya yaitu perbuatan Allah itu esa/unik.
Dan juga bahwa hukum-hukum Allah itu saling
kait mengait antara alam yang satu dengan alam yang lain. Lalu bagaimana
cara kita berinteraksi dengan alam ghaib bila ditinjau melalui sains?
Apakah sains mampu mengungkap keberadaannya menjadi data-data ilmiah
yang akurat? Saat ini memang teknologi manusia belum memungkinkan untuk
mencapai batas-batas antara alam ghaib dengan alam real kita.
Ketidaksamaan
hukum-hukum alam di dua alam yang berbeda ini memberikan suatu
kesimpulan penting, bahwa interaksi yang terjadi antara dua alam itu
tidak dapat terjadi dalam kondisi yang biasa (ordinary). Sebagaimana
halnya interaksi dua massa di dalam sistem medan gravitasi yang besar
seperti bumi. Tidak ada gunanya kita mendekatkan mereka agar saling
tarik-menarik. Dikarenakan mereka berada dalam sistem yang gravitasinya
mampu mengalahkan pengaruh gravitasi dari dua massa tersebut.
Dan menurut fisika, alam-alam lainnya itu
ada tapi tergulung dalam skala yang amat kecil dengan orde sekitar 10-34m,
lebih kecil dari jari-jari atom. Dan alam tersebut masih terhubung
dengan alam kita, tapi kita tidak berdaya untuk meninjau kesana karena
ukurannya yang amat kecil. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh
Stephen Hawking dalam bukunya The Theory of Everything:
”Mengapa kita hanya melihat tiga dimensi dari ruang dan sebuah dimensi
dari waktu? Saran yang ada hanyalah bahwa dimensi-dimensi yang lain
dilengkungkan kedalam sebuah ruang dengan ukuran yang sangat kecil.
Sesuatu berukuran 10-30 inci ini terlalu kecil sehingga kita
tidak memperhatikannya. Sebab dari semua ini salah satunya adalah
prinsip antropik (yaitu, alam semesta nampak demikian karena memang
sudah seharusnya). Dua dimensi ruang terlihat tidak cukup untuk
memperbolehkan membangun perwujudan makhluk yang rumit seperti kita.”
Dari pernyataan Hawking diatas dapat
diambil kesimpulan bahwa di setiap alam terdapat makhluk hidup tertentu
yang mencirikan kondisi alamnya. Alam bisa diartikan sebagai suatu
ekspresi dari kumpulan karakter sesuatu dan mempunyai keistimewaan.
Sifat-sifat ini adalah: panas-dingin, basah-kering, lembut-kasar dan
watak-watak yang terdiri atas gerak-diam, tumbuh dan berkembang. Ibnu
Qoyyim Al Jauziyah mengatakan dalam bukunya Ar Ruh:
”Allah menetapkan hukum-hukum bagi setiap tempat tinggal yang khusus
baginya. Allah menyusun manusia yang terdiri dari badan dan jiwa. Allah
menjadikan hukum-hukum dunia berlaku untuk badan dan ruh yang
menyertainya.”
Kita kembali ke alinea kedua dari pembahasan kita
mengenai keadaan yang memungkinkan untuk melihat (mengetahui keberadaan)
sesuatu. Lebih lanjut alam ghaib semisal alam jin tidak bisa di deteksi
dengan panca indera manusia; baik itu dilihat, di dengar maupun di raba
kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu. Untuk hal ini Dr. Rauf Ubaid
menyatakan dalam bukunya Al Insan Ruh la Jasad, halaman
214: ”Tidakkah kita bisa melihat baling-baling pesawat terbang dan
bagaimana secara bertahap ia hilang dari penglihatan kita dengan
semata-mata peningkatan kecepatan putarannya dan ketidakmampuan
pandangan kita untuk mengikutinya, padahal ia tetap berputar. Dalam
nisbatnya dengan alam jin kita berhadapan dengan kecepatan yang sangat
tinggi yang sulit dibayangkan (bahkan dapat melampaui kecepatan cahaya)
yang memancarkan gelombang elektromagnetik yang bersumber dari atom-atom
alamnya, yang kelima indera manusia tidak mampu menangkapnya.” Hal ini
mengindikasikan bahwa hukum fisika disana tidak sama dengan di alam
manusia karena kecepatan gerak elektron penyusun atomnya melebihi
kecepatan cahaya (hukum fisika di alam kita membatasi batas kecepatan
tertinggi adalah kecepatan cahaya).
Wallahu
a’lam bishshawab.
M. Hafidz
Ma’ruf
4 komentar:
Wallahu a’lam bishshawab..
Ijin share ya.
Thanks. :)
yaaa silahkan..... :) thanks dah datang ke blogq....
ass. ijin share juga. salam kenal sebelumnya...
iaa monggo
Posting Komentar